SOAL tekad dan semangat, kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa boleh jadi tiada banding, tiada tanding. Tiada kata menyerah dalam kamus mereka, yang ada hanyalah keyakinan tanpa batas bahwa kemenangan harus diperjuangkan sampai kapan pun dengan cara apa pun.
Hasil survei lembaga-lembaga survei yang kredibel boleh saja menempatkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, 9 Juli silam. Komisi Pemilihan Umum pun telah pula menetapkan hal yang sama. Lewat rekapitulasi hasil perolehan suara, lewat penghitungan real count, KPU mengesahkan Jokowi-JK sebagai pemimpin Republik ini lima tahun ke depan.
Namun, karena bandul kemenangan tidak berpihak ke kubu mereka, Prabowo-Hatta ogah mengakui realitas yang ada. Untuk mengonter hasil survei lembaga-lembaga survei tepercaya, misalnya, mereka didukung lembaga-lembaga survei abal-abal. Karena lembaganya abal-abal, hasilnya pun abal-abal. Toh, Prabowo-Hatta tetap percaya kepada yang abal-abal itu.
Mereka menolak mengakui hasil survei yang valid lantas berdalih lebih baik menunggu hasil penghitungan oleh KPU. Namun, lantaran bandul kemenangan semakin menjauh, mereka lagi-lagi berubah sikap. Alih-alih mengakui hasil resmi KPU, Prabowo justru memilih menarik diri dari proses rekapitulasi nasional. Ia menuding proses pilpres penuh kecurangan, sarat dengan cacat, sehingga harus ditolak.
Begitulah, Prabowo-Hatta selalu bersemangat untuk memperjuangkan kepentingan kubu mereka. Langkah baru pun telah mereka ambil dengan mengajukan gugatan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, kemarin. Langkah itu sejatinya aneh sebab bagaimana bisa mereka menggugat hasil pilpres, padahal sebelumnya menolak proses pilpres?
Namun, sesuatu yang dianggap aneh oleh orang kebanyakan mungkin normal bagi Prabowo-Hatta. Juga, banyak yang menilai gugatan itu bakal sia-sia lantaran margin perolehan suara sangat besar, tetapi optimisme justru memuncak di kubu Prabowo-Hatta. Sebanyak 2 juta lembar dokumen sudah mereka siapkan sebagai bukti pendukung gugatan bahwa telah terjadi kecurangan masif, terstruktur, dan sistematis.
Apa pun, kita patut mengapresiasi langkah Prabowo karena menggugat ke MK jauh lebih terhormat ketimbang berpidato secara emosional menolak proses pilpres. Menggugat hasil pilpres ke MK ialah hak politik Prabowo-Hatta yang wajib kita hormati, terlebih dari situlah akan kita dapatkan kepastian hukum menyangkut hasil pilpres tahun ini.
Keputusan KPU memenangkan Jokowi-JK memang sah, tetapi belum final dan mengikat lantaran ada gugatan Prabowo-Hatta ke MK. MK-lah kelak yang akan 'mengukuhkan' Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Jadi, tak perlu takut dengan gugatan Prabowo-Hatta.
Pertanyaan besarnya, apakah Prabowo-Hatta akan bersikap bijak dan terhormat jika gugatan mereka ditolak MK kelak? Atau sebaliknya, akankah mereka tetap berkeras hati menentang setiap putusan yang tidak menguntungkan mereka, kemudian menyiapkan manuver-manuver lain?
Semangat pantang menyerah memang bagus, amat bagus. Namun, dalam sebuah kontestasi sekelas pilpres, sikap legawa bagi yang kalah jauh lebih bagus.
Negeri ini tak mungkin terus-menerus tersandera rivalitas pemilihan presiden secara berkepanjangan. Banyak persoalan rakyat dan bangsa Indonesia yang harus segera diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK.